Mahasiswa IAI Al-Qolam Malang
Sesaat menjelang asyar, Warek 3 berkenan ngopi di rumah. Rupanya beliau mengajak berbincang masalah kondisi kampus, terutama mahasiswa.
Perbincangan diawali dengan pertanyaan, bagaimana menurut sampeyan tentang jargon kampus kita, kuliah sak ngajine ? Meskipun saya tahu itu, beliau tidak butuh jawaban saya, tetap saya menimpali. Bagus itu.
Sesuai dugaan, beliau menimpali dengan pertanyaan lagi, “Dimana ngajinya ? Mahasiswa kita sekarang punya kecenderungan tidak menampilkan diri sebagai orang yang sedang ngaji. Tidak hanya mahasiswa, sebagian dari pendidik dan tenaga pendidikan kita juga mengalami hal yang sama”.
Lalu beliau bercerita berbagai contoh kasus yang mendukung pernyataan yang menohok itu, lalu ditutup dengan, “Kita malu dengan para kyai, muassis, seperti Kyai Yahya. Saya yakin beliau mengawasi apa yang terjadi di Al-Qolam”. Ujar beliau dengan serius.
“Jangan-jangan kondisi tersebut kita ikut berkontribusi dengan abai pada hal-hal yang seharusnya kita lakukan?, Lanjut beliau. Pertanyaan yang dikembalikan pada diri sendiri sebagaimana yang disampaikan beliau adalah ciri orang bijak.
Kemudian beliau mulai memaparkan pandangan beliau untuk berbenah. Ada beberapa hal yang saya tangkap dan perlu saya tulis agar semangat yang beliau sampaikan tercatat dan menular pada yang lain.
Pertama, pemaksimalan organ-organ yang sudah ada. Beliau mencontohkan satpam, ditingkatkan kesejahteraan mereka dengan diberi tambahan mengawasi kondisi kampus terutama saat rawan, misal sore hari ketika jam kuliah terakhir selesai. Juga masalah CCTV harus ada review mingguan agar ada evaluasi tentang perkembangan kondisi kampus.
Kedua, kampus berbasis pesantren harus memunculkan aturan yang muncul dari nilai dan tradisi pesantren. Beliau mencontohkan, RPS harusnya dimulai dengan tawassul kepada para Kyai, guru dan ahli ilmu terkait. Jadi setiap pembelajaran harus dimulai dengan pembacaan fatihah dan doa sebagaimana di pesantren meskipun singkat. Ini memunculkan kebutuhan doa resmi yang dipilih dan diputuskan pimpinan.
Ketiga, ada program ngaji kitab di jam 0. Meskipun sifatnya tidak wajib, istiqomah ngaji kitab akan memberikan barokah kepada civitas akademika. “Kita terlalu disibukan hal-hal yang terkait akreditasi, kebutuhan sertifikasi, riset, pengabdian yang wah-wah, tapi tidak memberikan perimbangan pada tradisi pesantren yang bagus untuk kita bawa ke kampus. Beliau yakin kegiatan ini akan menyumbang pembentukan tradisi baru dikampus.”
Keempat, harus ada kegiatan rutin seperti istighosah bulanan seperti dahulu. “Kita sambungkan hati semua civitas akademika dengan para auliya’ dan sholihin”, ujar beliau. Kemudian beliau menyebut Dzikrul Ghofilin sebagai alternatif.
Saya menempatikan diri sebagai pendengar yang sesekali menimpali dengan pernyataan dan pertanyaan kecil agar suasana ngaji kahanan ini gayeng. Meskipun tidak saya ucapkan dalam hati saya berkata: “Memang tidak mudah menanam dan merawat perguruan tinggi disawah pesantren, ini bukan hanya masalah paradigma dan konsep tetapi juga masalah konsistensi dan kesabaran”[]
Ahmad Atho’ Lukman Hakim, M.Sc
Ketua LP3M IAI Al-Qolam Malang