Oleh: Ahmad Atho’ Lukman Hakim, M.Sc. (Ketua LP3M)
Memang, kampus bukan satu-satunya tempat tumbuh kembangnya radikalisme, tetapi abai terhadap peran kampus dalam eskalasi radikalisme adalah kenaifan yang luar biasa. Berikut ini adalah pengakuan salah seorang mantan penganut radikalisme agama yang juga seorang mahasiswi kepada penulis. Berlatar belakang keluarga santri nahdliyin, ia terjerumus dalam lingkaran jaringan radikalisme ketika menempuh semester 3 di salah satu perguruan tinggi negeri di Jawa Timur—masuk tahun 2015 dan keluar awal 2017–. Dengan berbagai pertimbangan, penulis tidak menyebut kampus tempatnya kuliah. Tulisan ini dapat menggambarkan proses di balik terbentuknya seorang teroris. Semoga dapat menginspirasi siapa saja dalam upaya deradikalisasi.
***
Mahasiswi ini merasa mempunyai berbagai problem yang biasa dialami remaja seusianya. Mulai dari masalah keluarga, teman maupun kenyataan yang tidak sesuai dengan cita-citanya. Kondisi ini menjadi sebab hatinya gelisah dan ingin mencari ketenangan yang nantinya membawa masuk dalam jebakan kaum radikal.
Dia mengkisahkan, saat hatinya galau seorang temannya menyediakan diri sebagai teman curhat yang baik. Saat kenyamanan dan kepercayaan dirasa sudah cukup, teman curhatnya itu mengajak dalam “renungan” yang diadakan kaum radikal tanpa disadari bahwa itu jebakan pertama.
“Renungan” ini membuatnya ketagihan yang kemudian dihadiri secara rutin. Pada “renungan” kali yang kedua mahasiswi ini sudah kehilangan daya kritisnya. Apapun yang diajarkan dan diminta kelompok itu diamini dan dilaksanakan dengan sukarela.
Menurut kesaksiannya, itulah salah satu trik recruitment di jaringan ini. Penampilan simpatik dan penuh empati adalah jurus ampuh untuk menarik calon korban yang sedang mengalami kegunjangan jiwa. Cara yang lain dikemas dengan kegiatan diskusi publik berbagai isu. Forum diskusi yang dibiayai oleh iuran wajib anggota itu tak jarang dapat merekrut anggota baru.
Setelah terjaring, kedekatan personal dijalin. Anggota lama menjalin komunikasi yang intensif dengan anggota baru. Mereka menampakkan sikap yang care dan altruistik sehingga menambah kedekatan.
Pengajian tertutup mereka lakukan di dalam atau di luar daerah. Beragam topik kajian bahkan sampai skill yang berkaitan dengan combatan, seperti latihan merakit bom dan memanah. Latihan merakit bom dimulai dari latihan dasar mengenalkan jenis bom dan bahan untuk mengaktifkan. Sementara itu, keahlian memanah lebih ditekankan untuk pengikut putri untuk berjaga diri.
Setelah dirasa cukup mengakar ideologi yang ditanamkan, maka ada proses pembaiatan. Kesaksian dari mahasiswi itu dilakukan di rumah pimpinannya. Dengan mengucap syahadah sambil mengacungkan tangan, mereka mengucapkan janji untuk taat pada pimpinannya dan berkomitmen menegakkan syariah dan khilafah. Tidak dipungkiri pada masa awal bergabung di dalam jaringan tersebut telah diikrarkan untuk janji setia, patuh, dan taat serta harus bersedia menutupi keberadaan jaringan ini. Pada saat dia dibaiat ada 30 anggota baru yang lain. Jumlah yang signifikan bukan?
Siapa yang berpotensi terjebak kelompok radikal ini ? Mahasiswi semester enam ini menjelaskan bahwa mereka yang punya potensi direkrut adalah : orang yang mencari jati diri, kejiwaan yang labil, dasar agama yang rapuh dan kesamaan ideologi.
*
Apa yang ditanamkan selama mengikuti jaringan ini ? Dia mengakui lebih banyak ditanamkan keunggulan kelompoknya dan menganggap kafir di luarnya. Harta milik selain kelompoknya halal diambil dengan cara apapun asalkan digunakan untuk perjuangan mereka. Yang mengiris hati, di dalam diri mahasiswa ditanamkan ajaran tentang kehalalan darah orang tua dan anjuran melawan keduanya jika tidak mau bergabung dengan mereka.
Khilafah adalah hal yang paling utama ditanamkan. Mereka menganggap umat Islam saat ini “diam-diam” banyak mengikuti ajaran khilafah dengan fenomena syariatisasi dalam banyak hal : fashion, wisata, hotel, dll. Ini semakin menguatkan jaringan mereka bahwa suatu saat nanti akan bermuara pada pembentukan khilafah yang paripurna. Juga diajarkan membenci dan menyerang kelompok lain. Keutamaan bom bunuh diripun ditanamkan. Dia menceritakan beberapa dari kelompoknya bersedia melakukan hal konyol tersebut.
*
Mahasiswi ini mengakui cukup banyak pengikut kelompok ini. Ada unsur dosen, PNS, mahasiswa dan masyarakat umum. Diperkirakan lebih dari 100 orang yang berpotensi bertambah dari waktu ke waktu. Untuk keluar dari jaringan ini tidaklah mudah apalagi sudah memasuki tahun ke-dua terperosok ke dalam jaringan tersebut. Mengapa? ada beberapa faktor yang memengaruhi. Salah satu faktor yang paling mendasar adalah mereka yang telah memasuki tahun kedua hampir dapat dipastikan sudah terjerumus ke dalam lubang yang begitu dalam, sebab mereka sudah memasuki ajaran yang sudah tidak sepele lagi. Rata-rata dari mereka sudah siap mati, atas nama jihad dan perjuangan. Mereka tidak takut dihukum, ataupun badannya terbelah dan hancur karena bom yang tertanam dalam tubuh. Bagi mereka, tujuan akhir hidup adalah kematian yang mereka impikan. Mereka dengan bangga menenteng tas ransel berisi bom dan granat. Mereka bak pahlawan.
Dalam jaringan, mereka disebut sebagai barisan tentara yang tidak takut mati. Semua ini tidak lepas dari kekuatan doktrin para pemimpin jaringan tersebut, apabila tengah masuk tahun kedua semua pengikut akan memasuki masa-masa ekstrem anti-mainstream di mana mereka sudah tak kenal siapa dirinya, dan mereka harus siap meninggalkan sanak keluarga atas kepentingan kelompok yang mengatasnamakan jihad.
Itulah sekelumit pengakuan mahasiswi mantan pengikut ekstremis agama. Masih banyak yang tidak saya tulis. Jika tidak segera ditangani oleh semua pihak, Indonesia akan mengalami problem serius.